Cari Blog Ini

Rabu, 24 Agustus 2011

EKONOMI SYARI’AH (Nilai Tauhid dan Tanggung Jawab)

EKONOMI SYARI’AH
(Nilai Tauhid dan Tanggung Jawab)
 oleh: Mashadi

Ekonomi syari’ah adalah ekonomi yang berorientasi pada nilai-nilai keagamaan, dimana ekonomi syari’ah sendiri mengandung banyak unsur-unsur agama Islam, mulai dari landasan-landasannya sampai dengan cara dalam bertransaksi yang diterapkan di dalamnya.
Landasan ekonomi syari’ah (Islam) jelas berbeda dengan landasan sistem ekonomi modern. Sebab pandangan Islam mengenai ekonomi mempunyai karakteristik yang tidak terdapat pada sistem ekonomi modern. Islam memiliki acuan dasar (baca: Al-Qur'an dan Hadits) dan acuan yang bersifat interpretasi.[1]
Sistem ekonomi Islam bukan hanya ekspresi syari’ah yang memberikan eksistensi sistem Islam di tengah-tengah eksistensi berbagai sistem ekonomi modern. Tetapi sistem ekonomi Islam lebih sebagai pandangan Islam yang komplek hasil ekspresi akidah Islam dengan nuansa yang luas dan target yang jelas. Ekspresi akidah melahirkan corak pemikiran dan metode aplikasinya, baik dalam konteks undang-undang kemasyarakatan, perpolitikan, atau perekonomian[2].
Ekonomi syari’ah berperan aktif dan memiliki nilai-nilai sosial yang tinggi untuk membangun perekonomian masyarakat, demi mendapatkan kesejahteraan hidup di dunia dan untuk mencapai kebahagiaan di akhirat. Hal ini diwujudkan dalam sistem ekonomi yang diterapkannya melalui cara-cara yang seharusnya diajarkan oleh agama Islam.
Agama Islam telah mengajarkan kepada umatnya terkait tentang landasan-landasan dalam menjalani kehidupan di dunia ini, baik itu berupa pandangan hidup maupun berupa hal-hal yang mendasari usaha manusia dalam pencapaian tujuannya di dunia ini dan akhirat kelak.
Ajaran Islam merupakan ajaran yang diberikan oleh sang khaliq kepada hamba-hambanya sebagai pedoman dalam aktivitas, yakni dapat digunakan sebagai acuan untuk beribadah kepada Allah SWT (hablum minallah), dan hubungan sesama manusia (hablum minannas).
1.      Tauhid
Tauhid merupakan sebuah landasan yang berorientasi pada nilai-nilai ketuhanan yang diterapkan pada ekonomi syari’ah, dan tauhid merupakan suatu hal yang menjadi sangat pokok untuk diterapkan dalam sistem ekonomi syari’ah. Dengan adanya tauhid berarti telah menyatakan bahwa segala sesuatu baik yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah SWT, tidak ada yang lebih berhak terhadap sesuatu kecuali Dia.
Konsep tauhid berisikan kepasrahan (taslim) manusia kepada Tuhannya, dalam perspektif yang luas, konsep ini merefleksikan adanya kesatuan (unity/al wihdat), yaitu kesatuan kemanusiaan (unit of mankind), kesatuan penciptaan (unit of creation) dan kesatuan tujuan hidup (unit of purpose of life).[3]
Tauhid adalah aqidah (ikatan) atau perjanjian manusia dengan Allah SWT, di mana manusia mengikuti Allah SWT sebagai sembahannya. Ikatan yang dimaksudkan adalah ikatan primordial antara Tuhan dengan manusia, suatu perjanjian antar roh manusia dengan Tuhan, ketika manusia hendak dijadikan Tuhan dalam bentuk yang lain. Prasyarat untuk sampai pada bentuk yang lain, bentuk yang lebih indah, ruh manusia terlebih dahulu harus mengakui dan mengikat dirinya dengan cara menerima dan mengakui Allah SWT sebagai satu-satunya penguasa alam.[4]
2.      Tanggung Jawab
Sebuah amanah yang telah diberikan kepada manusia merupakan suatu hal yang berat sebenarnya untuk dilaksanakan, akan tetapi semua itu adalah datang dari Sang Khaliq yang diberikan kepada manusia agar memiliki rasa tanggung jawab dalam melaksanakan atau menjaganya terhadap apa yang telah diamanahkan.
Tanggung jawab adalah suatu hal yang harus dimiliki oleh setiap makhluk ciptaan Tuhan, khususnya manusia sendiri harus memiliki rasa tanggung jawab. Tanpa adanya rasa tanggung jawab di dalam hati manusia, maka akan terjadi ketidak teraturan dalam roda kehidupan di dunia ini, dan menjadi terasa tidak mungkin berjalan suatu kehidupan tanpa adanya rasa tanggung jawab, tanggung jawab itu berupa tanggung jawab terhadap Tuhan dan tanggung jawab terhadap sesama makhluk.
Setiap manusia harus memiliki rasa tanggung jawab terhadap segala sesuatu yang diembannya, rasa tanggung jawab itu tumbuh di dalam diri manusia untuk menerima amanah dari Tuhan dalam menjalani kehidupan di dunia. Jika kita benar-benar melaksanakan apa yang telah di amanahkan kepada kita, maka hal itu akan membentuk sifat penuh tanggung jawab pada setiap individu.
Dengan adanya rasa tanggung jawab yang tinggi, maka hal itu akan melahirkan masyarakat yang kuat, karena dilandasi oleh saling percaya antar anggotanya.[5]
Sistem ekonomi syari’ah yang diterapkan memiliki sifat tanggung jawab yang penuh, baik tanggung jawab Tuhan maupun terhadap manusia. Tanggung jawab ini harus dimiliki oleh para pelaku ekonomi dalam melakukan aktivitasnya, karena apa bila tidak adanya rasa tanggung jawab dari pelakunya maka kehidupan ekonomi dan bisnis akan hancur.
Prinsip tanggung jawab individu begitu mendasar dalam ajaran-ajran Islam sehingga ia ditekankan dalam banyak ayat Al-Qur'an dan dalam banyak hadits Nabi. Prinsip tanggung jawab individu ini disebut dalam banyak konteks dan peristiwa dalam sumber-sumber Islam.[6]
Tanggung Jawab Muslim yang sempurna tentu saja didasarkan atas cakupan kebebasan yang luas, yang dimulai dari kebebasan untuk memilih keyakinan dan berakhir dengan keputusan yang paling tegas yang perlu diambilnya. Karena kebebasan itu merupakan kembaran dari tanggung jawab, maka apabila yang disebut belakangan itu semakin ditekankan berarti pada saat yang sama yang disebut pertama pun mesti mendapatkan tekanan lebih besar.[7]
  1. Tanggung jawab moral
Islam memberikan pandangan terhadap masyarakat tentang peranan moral dalam kehidupan, terlebih lagi dalam masalah sistem ekonomi, dimana moral sangat penting demi terlaksananya suatu sistem ekonomi dengan baik, dan tidak menimbulkan kesenjangan dalam masyarakat.
Dalam ekonomi syari’ah (Islam) juga terdapat tanggung jawab yang mengarah kepada moral, karena dalam ekonomi syari’ah menerapkan sistem yang tidak hanya ingin mendapatkan keuntungan belaka, melainkan juga memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan etika atau cara-cara yang diterapkannya, supaya tidak terjadi hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Tidak halnya dengan ekonomi konvensional, dimana ekonomi tersebut menerapkan sistem yang hanya mengharapkan keuntungan belaka, tanpa memperhatikan hal-hal yang lebih prinsipil yakni tidak memperhatikannya etika atau cara-cara yang diterapkan dalam sistem ekonomi tersebut. Bahkan karena sistem yang diterapkannya itu telah banyak menjerumuskan masyarakat luas, dan akhirnya sistem ini dinyatakan gagal dalam mengemban tugasnya itu.
Ekonomi Islam memberikan solusi yang tepat sebagai pengganti sistem ekonomi yang dinyatakan gagal itu yakni memberikan sistem yang tidak hanya ingin mendapatkan keuntungan belaka melainkan dengan menerapkan sistem bisa mengangkat harkat dan martabat masyarakat luas, sehingga masyarakat merasa telah diperhatikan dan merasa tidak dijebak oleh sistem yang telah diterapkan tersebut.
  1. Tanggung jawab sosial
Selain tanggung jawab moral, ekonomi Islam juga memperhatikan tanggung jawab sosial, dimana dalam penerapan sistemnya ia tidak hanya mementingkan diri sendiri, tidak hanya ingin mendapatkan kepuasan individu saja melainkan juga memperhatikan masyarakat luas. Sehingga berkesinambungan antara kepentingan individu dan masyarakat.
Lain halnya dengan ekonomi modern yang saat ini masih berdiri, dimana dalam sistem ekonomi tersebut mempengaruhi dan menjebak masyarakat moderen dengan jaringan individualismenya itu, yakni mementingkan hasrat dan kepentingan diri sendiri tanpa memperdulikan norma-norma sosial. Masyarakat menjadi kehilangan daya kohesif yang semula merupakan identitas perekat relasi-relasi sosial yang harmonis.[8]
Dengan memperhatikan nilai-nilai sosial, maka sistem ini akan bertahan dan akan mengangkat harkat dan martabat manusia secara luas dan menyeluruh.
Dengan demikian, maka ekonomi syari’ah dengan sistem dan prinsip-prinsipnya yang diterapkan itu akan menjadi sebuah alternatif pengganti terhadap sistem ekonomi modern yang telah menghancurkan harkat dan martabat manusia dan sistem sistem ekonomi initelah dinyatakan gagal.
Ekonomi Islam menawarkan sistemnya yang sesuai dengan pandangan masyarakat, karena ia memiliki landasan, etika, moral, dan sosial yang tinggi sesuai dengan yang diharapkan masyarakat. Lain halnya dengan ekonomi konvensional yang hanya mementingkan dirinya sendiri atau dengan kata lain hanya bersifat individualisme, ekonomi Islam memiliki rasa sosial yang tinggi yang diamanahkan untuk kemaslakhatan umat.
Penerapan ekonomi Islam akan mencapai apa yang diharapkan oleh masyarakat yakni menjaga harkat dan martabat manusia, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA

An-Nabahan, M. Faruq. Sistem Ekonomi Islam (Pilihan Setelah Kegagalan Sistem Kapitalis dan Sosialis). Yogyakarta: UII Press. 2002.
Muhammad. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2007.
Muhammad. Paradigma, Metodologi dan Aplikasi Ekonomi Syari’ah. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2008.
A. Karim, Adi Warman. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta. PT. Rajagrafindo Persada. 2007.
Kahf, Monzer. Ekonomi Islam (Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1995.
Siddiqi, Muhammad Nejtullah. Kegiatan Ekonomi Dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2004.


[1] M. Faruq an-Nabahan. Sistem Ekonomi Islam (Pilihan Setelah Kegagalan Sistem Kapitalis dan Sosialis). Yogyakarta: UII Press. 2002. h. 19.

[2] Ibid,. h. 1.
[3] Muhammad. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2007. h. 5.

[4] Muhammad. Paradigma, Metodologi dan Aplikasi Ekonomi Syari’ah. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2008. h. 115.
[5] Adi Warman A. Karim. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta. PT. Rajagrafindo Persada. 2007. h. 39.

[6] Monzer Kahf. Ekonomi Islam (Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1995. h. 51-52.

[7] Ibid,. h. 53.
[8] Muhammad. Paradigma, Metodologi dan Aplikasi Ekonomi Syari’ah. h. 4.

TEOLOGI KONTEMPORER: HARUN NASUTION DAN NURCHOLIS MADJID


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
      Ilmu kalam atau teologi sudah kita kenal sejak zaman Khulafaur Rasyidin, menurut Harun Nasution kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Ustman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib[1]
      Ilmu kalam atau teologi dari masa ke masa mengalami perkembangan yang cukup pesat, banyak tokoh-tokoh pemikir ilmu kalam bermunculan. Dan memiliki argumentasi yang berbeda-beda, sehingga persoalan-persoalan yang mengenai ilmu kalam atau teologi itu sendiri semakin serius untuk dibahas. Karena dari permasalahan tersebut akan memicu timbulnya pemikiran-pemikiran yang baru dan tanggapan dari berbagai tokoh-tokoh ilmu kalam itu sendiri.
Dengan adanya permasalahan-permasalahan tentang ilmu kalam ini akan menambah wawasan keilmuan bagi para tokoh pemikir itu sendiri maupun bagi orang-orang yang terlibat dalam keilmuan tersebut. Banyaknya tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang yang berbeda, maka banyak pula pemikiran-pemikiran dari mereka yang berbeda tentang permasalahan ilmu kalan ini. Sebagai contoh, di dalam makalah ini insya Allah akan di bahas teologi atau ilmu kalam yang mengacu pada dua tokoh yaitu: Harun Nasution dan Nurcholis Madjid. Akan tetapi dalam makalah ini akan di bahas hanya terkait dengan teologi atau ilmu kalam kontemporer saja dan hanya terfokus pada teologi dua tokoh yaitu: Harun Nasution dan Nurkholis Majid.
Oleh karena itu, penulis mencoba mengangkat makalah dengan judul “TEOLOGI KONTEMPORER: HARUN NASUTION DAN NURCHOLIS MADJID”. Hal ini sebagai bahan diskusi, sehingga akan mendapatkan wawasan keilmuan terkait dengan permasalahan ilmu kalam.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana riwayat hidup Harun Nasution?
2.      Apa pemikiran Harun Nasution tentang teologi?
3.      Bagaimana riwayat hidup Nurcholis Madjid?
4.      Apa pemikiran Nurcholis Madjid tentang teologi?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Harun Nasution
  1. Riwayat Singkat Harun Nasution
Harun Nasution lahir pada hari Selasa 23 September 1919 di Sumatera. Ayahnya, Jabar Ahmad adalah seorang ulama yang mengetahui kitab-kitab Jawi. Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah Belanda HIS. Setelah tujuh tahun di HIS, beliau meneruskan ke MIK (Modern Islamietishe Kweekschool) di Bukittinggi pada tahun 1934. pendidikannya lalu diteruskan ke Universitas Al-Azhar, Mesir. Sambil kuliah di Al-Azhar beliau kuliah juga di Universitas amerika di Mesir. Pendidikannya lalu dilanjutkan ke Mc. Gill, Kanada pada tahun 1962.[2]
Setiba di tanah air pada tahun 1969 beliau langsung terjun dalam bidang akademisi, yakni menjadi dosen di IAIN Jakarta, IKIP Jakarta, dan kemudian juga pada Universitas Nasional. Harun Nasution adalah figur sentral dalam semacam jaringan intelektual yang terbentuk dikawasan IAIN Ciputat semenjak paruh kedua dasawarsa 70-an. Sentralitas Harun Nasution di dalam jaringan itu tentu saja banyak ditopang kapasitas intelektualnya, dan kemudian kedudukan formalnya sebagai rektor sekalibus salah seorang pengajar di IAIN.[3]
  1. Pemikiran Harun Nasution
a.       Peranan Akal        
Bukanlah secara kebetulan bila Harun Nasution memilih problematika akal dalam system teologi Muhammad Abduh sebagai bahan kajian disertasinya di Universitas Mogill, Mentreal, Kanada. Besar kecilnya peranan akal dalam system teologi suatau aliran sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian: “Akal melambangkan kekuatan manusia”. Karena akallah manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggi pula kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah lemah pulalah kesanggupannya untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.[4]
Dalam sejarah Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, akan tetapi dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemikiran akal dalam Islam diperintahkan Al-Qur’an sendiri. Bukanlah tidak ada dasarnya apabila ada penulis-penulis, baik di kalangan Islam sendiri maupun di kalangan non-Islam, yang berpendapat bahwa Islam adalah agama rasional.[5]
b.      Pembaharuan Teologi
Pembaharuan teologi yang menjadi predikat Harun Nasution. Pada dasarnya dibangun atas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia (juga di mana saja) adalah disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka. Pandangan ini serupa dengan pandangan kaum modernis lain pendahulunya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridha Al-Afghani, Sayid Amer Ali, dan lain-lain) yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam yang sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat Islam dengan teologi fatalistic, irasional, predeterminisme serta penyerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat Islam. Menurut Harun Nasution, umat Islam hendaklah mengubah teologi yang berwatak free-will rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khazanah Islam klasik sendiri yakni teologi Mu’tazilah.[6]
c.       Hubungan akal dan wahyu
Salah satu focus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan akal dan wahyu memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.[7]
Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan lain dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.[8]

B.     Nurcholis Madjid
1.      Riwayat Singkat Nurcholis Madjid
Prof. DR Nurcholis Madjid yang populer dipanggil cak Nur lahir di Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 dan meninggal di Jakarta, 29 Agustus 2005 pada umur 66 tahun adalah seorang pemikir Islam, cendekiawan dan budayawan Indonesia. Ayahnya, KH. Abdul Madjid dikenal dengan pendukung Masyumi. Setelah melalui pendidikian di berbagai pesantren termasuk pesantren Gontor Ponorogo beliau menempuh studi kesarjanaan di IAIN Jakarta (1961 sampai 1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Cikago Amerika Serikat (1978-1984) dengan disertasi tentang filsafat dan kalam Ibnu Taimiyah.
Beliau berjasa ketika bangsa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan pada tahun 1998. beliaulah yang sering diminta nasihat oleh presiden Soeharto terutama dalam mengatasi gejolak pasca kerusuhan  Mei 1998 di Jakarta setelah indonesia dilanda krisis yang hebat. Atas saran beliau, akhirnya presiden Soeharto Mengundurkan diri dari jabatannya untuk menghindari gejolak yang lebih parah.[9]
2.      Pemikiran Nurcholis Madjid
1.      Teologi Pluralisme
Pluralisme Nurcholis Madjid berdiri tegak atas pundamen ajaran dan nilai etis Al-Qur’an seutuhnya. Teologi ini berangkat dari kesadaran kemajemukan atau pluralitas umat manusia yang merupakan kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan. Tegasnya bahwa Allah menciptakan umat manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar mereka saling mengenal dan  menghargai (QS. 49: 13). Bahwa perbedaan antara manusia dalam bahasa dan warna kulit merupakan pluralitas yang mesti diterima sebagai kenyataan yang positif dan merupakan salah satu kebesaran Allah (QS. 30: 22).[10]
Pemahaman yang didasarkan atas kesadaran kemajemukan secara sosial, religiu yang tidak mungkin ditolak, ini lah yang oleh Nurcholis Madjid disebut pluralisme. Yaitu sistem inilah yang memandang secara positif optimis dan menerimanya sebagai pangkal tolak untuk melakukan upaya konstruktif dalam bingkai karya-karya kemanusiaan yang membawa kebaikan dan kemaslahatan.[11]
Berbicara pemikiran Nurcholis Madjid tentang pluralisme, sama sekali berbeda jauh dengan definisi pluralisme yang dipahami dan diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pluralisme (agama): paham bahwa semua agama sama dan kebenaran setiap agama dalah relatif, setiap pemeluk agama mengklaim hanya agamanya uang benar atau semua pemeluk agama akan masuk dan berdampingan di surga.[12]
2.      Kalam Masa Depan
Ada beberapa hal yang secara tentatif meskipun dengan cara yang agak arbiter, kurang sistematis dapat digunakan sebagai titik tolak tingkat awal bagi pengembangan metode ilmu kalam.
a.       Untuk menjaga autentisitas
b.      Untuk memperoleh relevansi dan kreatifitas yang optimal
c.       Secara tersendiri amat diperlukan memahami dengan tepat dan esensial arti zaman modern dan modernitas
d.      Salah satu hasil yang dituju ialah ditemukannya hubungan organik yang mantap antar iptek dan sistem keimanan Islam.
e.       Di satu segi  iptek modern memberi umat manusia kemugkinan besar memperoleh peningkatan hidup meterial yang luar biasa.
f.       Zaman modern tidak akan merubah fitrah manusia yang memerlukan bimbingan Ilahi bagi kelangsungan hidupnya.


BAB III
PENUTUP

            Dari pembahasan di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa:
1.      Bagaimana riwayat hidup Harun Nasution?
2.      Apa pemikiran Harun Nasution tentang teologi?
3.      Bagaimana riwayat hidup Nurcholis Madjid?
4.      Apa pemikiran Nurcholis Madjid tentang teologi?

1.      Harun Nasution
Harun Nasution adalah seorang tokoh pemikir ilmu kalam/teologi di mana beliau memilki beberapa pemikiran-pemikiran terkait dengan masalah ini, di antaranya yaitu: beliau pernah menulis bahwa Akal Melambangkan Kekuatan Manusia, hal ini mengartikan bahwa dengan akal lah manusia dapat melakukan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan keperluan hidupnya. Dengan akal manusia dapat mengalahkan makhluk lain, dan bertambah tingginya akal manusia maka bertambah tinggi pula kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah lemah pulalah kesanggupannya untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.
Beliau juga berpendapat bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia (juga di mana saja) adalah disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka, maka dari itu beliau memiliki pemikiran tentang pembaharuan teologi. Beliaupun berpendapat bahwa ada hubungan antara akal dan wahyu. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an, orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.

2.      Nurcholis Madjid
Nurcholis Madjid adalah seorang teologi yang memiliki pemikiran dan pandangan tentang pluralisme, akan tetapi terkadang pemikirannya tersebut bertentangan dengan apa yang menjadi ketentuan pada umumnya. Contohnya pemikiran beliau ini berlawanan dengan pluralisme yang diutarakan oleh MUI. Nurcholis Madjid juga mengungkapkan tentang kalam masa depan, yang berisi prediksi tentang titik tolak tingkat awal bagi pengembangan metode ilmu kalam.


DAFTAR PUSTAKA

Andito, http://forum.rektor.org. Diakses tanggal 07 Oktober 2009.
Anwar, Rosihon dan Abdul Razak, Ilmu Kalam, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2003.
http://wapedia.mobi/id/Nurcholish_Madjid?t=6. Diakses tanggal 07 Oktober 2009.
Madjid, Nurcholis, Ensiklopedi Nurcholis Madjid Pemikiran Di Kanvas Peradaban, Jakarta: Mizan, 2006.
Madjid, Nurcholis, Teologi Islam Rasional ”Apresiasi Terhadap Wacana Praktis Harun Nasution”: Ciputat, 2005.
Mansoer Faqih, Mencari Teologi Tertindas (Kidmat Dan Kritik) Untuk Guruku Prof. Harun Nasution.
http://www.pornhub.com/view_video.php?viewkey=1c715824da207094607d





[1]Rosihon Anwar dan Abdul Razak, Ilmu Kalam, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2003, h. 27.
[2]Zaim Uchrowi dalam Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003, h. 240.
[3]Ibid., h. 241.
[4]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan Jakarta: UI Press, 1983, h. 56.
[5]Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI Press, 1980, h. 101
[6]Mansoer Faqih, Mencari Teologi Tertindas (Kidmat Dan Kritik) Untuk Guruku Prof. Harun Nasution, dalam Suminto, h.167.
[7]Harun Nasution dalam Anwar. Rosihan dan Abdul Razak, Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003, h. 243.
[8]Ibid., h. 243
[9]http://wapedia.mobi/id/Nurcholish_Madjid. Diakses tanggal 07 Oktober 2009.
[10]Andito, http://forum.rektor.org. Diakses tanggal 07 Oktober 2009.
[11]Ibid.,
[12]Ibid.,